25 April 2014

Movie Review: The Other Woman (2014)


"You screw me, I screw you back."

Man is the cruelest animal? No, wanita juga dapat menjadi sama kejamnya, menciptakan sebuah ledakan dari amarah terlebih mengingat mereka lebih dominan menggunakan perasaan ketimbang logika. Isu tadi pada awalnya hendak dibungkus oleh film ini dengan menyatukannya bersama penggambaran terkait kekuatan yang dimiliki wanita dalam sebuah rom-com yang sayangnya justru berakhir menyedihkan ini meskipun diawali dengan menjanjikan. The Other Woman, stupid fun yang palsu dan canggung. It’s not about girl power, it’s mocking woman integrity.

Wajahnya memang tidak setampan Leonardo DiCaprio ataupun Brad Pitt serta Tom Cruise, namun Mark King (Nikolaj Coster-Waldau) merupakan salah satu bagian dari kelompok pria yang punya daya tarik sangat besar sehingga mampu menjadikan para wanita dengan mudah jatuh kedalam pelukannya. Salah satunya adalah Carly Whitten (Cameron Diaz), seorang pengacara sukses yang terperanjat dalam tangkapan pesona Mark yang seolah selalu memancarkan sinarnya. Namun ada satu hal yang selalu sulit untuk Carly wujudkan, mempertemukan Mark dengan ayahnya yang juga masih berjiwa muda, Frank (Don Johnson).

Hal tersebut pula yang kemudian menjadikan Frank memaksa Carly untuk bergerak, tidak hanya sebatas menerima penolakan dari Mark, dan cara pertama yang ia lakukan adalah dengan mendatangi kediaman Mark serta memberikan kejutan berupa role playing. Celakanya justru Carly yang menerima kejutan, sumbernya adalah Kate King (Leslie Mann), wanita berstatus istri dari Mark. Perundingan coba mereka bangun untuk mencari solusi, namun sayangnya sebuah fakta lain dengan hadirnya wanita lainnya pada diri wanita seksi bernama Amber (Kate Upton) memaksa mereka untuk bergerak lebih jauh, aksi balas dendam.


Ekspektasi tentu saja telah dipasang cukup rendah, namun The Other Woman secara mengejutkan berhasil memberikan sebuah pembuka yang impresif dan kemudian memaksa ekpektasi tersebut untuk berubah menjadi lebih tinggi. Sayangnya hal tersebut hanya hadir di bagian awal, dan jika di rangkum secara sederhana kisah yang ditulis oleh Melissa Stack ini dibawa berjalan dalam sebuah rollercoaster yang mengasyikkan dibagian awal oleh Nick Cassavetes, namun setelah itu selesai kemudian menjadi pusing dan kehilangan arah. Klise, klasik, lupakan itu karena ada sebuah pertikaian yang menarik di layar ketika masih berisikan Mark, Carly, Kate, dan mungkin juga Lydia (Nicki Minaj), tapi setelah Kate Upton hadir semua berubah.

Don’t say “are you a perv?” to me, karena faktanya payudara ukuran besar dengan bikini yang juga ketat itu memang sengaja dihadirkan oleh Nick Cassavetes, dan sudah menjadi tugas para pria untuk menikmati itu, yang sayangnya menjadi satu-satunya nilai plus dari Kate Upton, dan juga menjadi awal dari sebuah keruntuhan kisah tradisional yang potensial.  Cara tradisional diawal itu secara gamblang berubah menjadi sebuah petualangan liar yang kerap terasa stuck. Disini dapat terlihat jelas bahwa bahan yang dimiliki oleh Nick Cassavetes sangat minim, hanya sebuah pondasi dasar sehingga menjadikan ia seperti bingung ketika hendak mewarnai The Other Woman. Akibatnya mayoritas yang ia berikan terasa tidak klik, seolah dipaksakan dan sering terasa canggung.

Ini akan menjadi cukup menyenangkan jika hanya sebatas menilik kinerja komedi, sayangnya dibalik itu Nick Cassavetes ternyata juga punya tumpukan misi lainnya. Hal tersebut yang melukai The Other Woman, kisah yang predictable itu seolah dipaksa untuk dapat pula menyampaikan pesan yang celakanya cukup gemuk. Hasilnya dengan kesan hanya sebatas numpang lewat mereka kerap mengganggu irama cerita, stuck, kehilangan energi, bahkan kehilangan fokus. Tidak ada sebuah narasi yang terencana, semua hal menarik dihabiskan di paruh pertama dan akibatnya setelah itu hanya berisikan proses menunggu berisikan aksi panik, teriakan, serta tampilan putus asa bersama alcohol. Ini yang menjadi kekecewaan, karena pada awalnya ada sebuah harapan ini dapat menunjukkan bagaimana kekuatan para wanita atas pria.


“What, bukannya memang seperti itu, aksi balas dendam dari wanita kepada pria.” Ya, secara garis besar, namun akibat dramatisasi yang terkesan dipaksakan itu pula yang mengungkapkan nilai minus lain dari The Other Woman, sebuah penggambaran dari sisi lemah wanita. Tentu saja ini happy ending dengan pemenang yang sudah dapat ditebak, namun visualisasi yang sebelumnya hadir justru terasa jauh lebih menarik, ketika cerita masih memiliki isi. Sering kali hadir tawa bukan karena komedi yang ia berikan terasa lucu, namun karena menyaksikan empat orang wanita yang duduk dibarisan depan dapat tertawa ketika menyaksikan karakter wanita tersiksa dalam kondisi menyedihkan. “Ah, ini komedi, jangan terlalu serius.” Yeah, I know, tapi sayangnya setelah si big boobs itu hadir yang menarik hanya isu tersebut. 

Sesungguhnya berbagai nilai minus tadi dapat terhapuskan hanya dengan satu hal sederhana, karakter yang mampu menarik simpati dan empati penontonnya. The Other Woman tidak punya itu, karakter hampa menemani penceritaan berisikan kisah persahabatan dan persaudaraan yang berkembang bersama tujuan yang menemukan hambatan, tampil manipulatif yang menyebabkan hadirnya kesan palsu, setengah hati pada dua elemen utama, melodrama untuk menunjukkan kerapuhan emosi tanpa mengikutsertakan sebuah sensitifitas yang mumpuni, kemudian menggunakan komedi slapstick dalam upaya mengundang tawa yang sayangnya hanya bekerja pada Leslie Mann.

Yeah, Leslie Mann steal the show, dan jujur saja menjadi faktor utama yang menyelamatkan The Other Woman untuk menjauh dari status sebuah komedi membosankan. Ada tingkah lucu yang mengasyikkan dari Leslie Mann, ada tingkah riang hyper dalam kemuraman dan kekacauan yang kuat darinya, rasa kesal dan juga rasa cinta juga mampu tergambarkan dengan baik, jauh lebih liar dibandingkan ketika berada dibawah kendali suaminya, Judd Apatow, di This is 40. Kate King beat Debbie. Sayangnya ia tidak klik dengan dua rekan lainnya, Cameron Diaz terasa statis, tipis dan minim pesona, Nikolaj Coster-Waldau minim kesempatan, sedangkan Kate Upton seperti terlupakan setelah adegan slow-motion layaknya Baywatch itu. Don Johnson yang justru sering mencuri perhatian dengan gaya eksentriknya. And do we need to talk about Nicki Minaj?


Overall, The Other Woman adalah film yang kurang memuaskan. Ini seharusnya menjadi arena show-off bagi isu utama ketika para wanita menunjukkan daya yang ia miliki atas kaum pria. Tapi bahan yang tipis menciptakan sebuah batasan yang tipis pula, sehingga ketika Nick Cassavetes menghadirkan berbagai hal yang tidak bekerja dengan baik dalam momentum berantakan nilai minus itu hadir lewat berbagai hal seperti karakter yang lemah, punchlines yang mati, fokus yang kehilangan arah, hingga usaha yang terlalu dipaksakan pada unsur drama yang melelahkan, meskipun aksi Leslie Mann telah memberikan nilai plus yang cukup besar. Isu utama itu berputar arah, bukan menjadi sebuah petualangan girl power melainkan menjadi sebuah tamparan bagi sisi lemah para wanita.






0 komentar :

Post a Comment